Posts

Let's Talk About Love

Image
On Pinterest Sebenarnya uda lama banget ini ada di draft dan ketimbun.. kalau diingat lagi waktu itu senyawa diri asing banget dengan varian rasa satu ini. Yahh meskipun juga terlalu dini dan tergesa - gesa untuk mendiplomasikan sebuah rasa yang baru aja berkecambah but at least I can relate to it now. So, Here we go... Beberapa hari yang lalu bertepatan dengan hati milik sendiri yang lebur seorang teman mengisahkan petaka bingkai percintaannya. Tentang bagaimana ia dipaksa untuk membiarkan takdir menjajah tautan waktu dan rasa. Sempat terlintas juga kenapa sebuah rasa itu harus muncul pada induk yang kalau kata kebanyakan orang 'bukan jodohnya'. Dan saat itu bagian diriku yang lain menyahut "mungkin itu hadir untuk memaklumatkan pengajaran". Tentu aku tidak hanya memiliki satu bagian saja, suara-suara lainnya juga ikut bersahutan saling beradu dan bertumbuk. Mudah saja jika dalam sistem anak adam hanya dibubuhi akal, tanpa kontradiksi, tanpa aksi saling serang dalam

Listen Before

Image
By Camila Quinterofranco On Unsplash Suara itu timbul tenggelam seperti alunan denting jarum jam di tengah malam. Saat separuh makhluk bumi tengah lelap suara itu melantang. “Bagaimana jika esok adalah hari kematianmu?” katanya Satu pertanyaan sederhana yang menimbulkan ribuan deret barisan pertanyaan menakutkan lainnya.  Berapa banyak dari kita yang telah memilih melenggang lebih awal dari dunia meski masih diberi masa? Berapa banyak yang meminta sebaliknya? untuk tetap diijinkan menjalani satu jam dua jam hanya agar dapat mengganti sesal, mengucap maaf menyelesaikan semuanya dengan bab Epik terakhir. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa bukan hari esok yang perlu dikhawatirkan. Bahwa bukan apa yang terjadi esok yang perlu di risaukan di atas kasur. Bahwa adalah “tidak adanya hari esok” yang seharusnya menjadi inti untuk semuanya. Pada beberapa dari banyaknya malam kerap muncul sebuah refleksi tergelap yang mungkin adalah berkat. Entah itu berasal dari takut, sesal, cemas ataupun ras

Yang Fana Bukan Hanya Waktu

Image
On unsplash Daun telah tertulis takdirnya untuk gugur dan bersimpuh dengan tanah.   Dan suara bisa menggaung dan menggema. Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Yang fana adalah waktu. Yang fana adalah waktu. “Tapi, yang fana adalah waktu buka? Tanyamu. Kita abadi” (Sapardi Djoko Damono, 1978) Maaf aku membuat repetisi yang mungkin terkesan menjemukan. Tapi aku hanya ingin menekankan kata “Fana” dan “Waktu”. Empat puluh dua tahun lalu, dia yang fana telah menyiapkan kalimat berkabung terbaik untuk dirinya sendiri, agar pada saat 19 Juli 2020 seluruh dunia dapat menggunakannya untuk mengenang dan menghantar. Meski pada saat itu dia telah rapi terbungkus dan ditindih bumi duunia masih tunduk berkabung. Aku ingat pagi aneh itu, saat air turun deras dari celah m

Tentang Ove

Image
Beberapa waktu lalu saya membaca salah satu karangan Fredrik Backman. Saya   harus menyerahkan plat novel terunik di karyanya yang berjudul “A Man Called Ove”. Sebuah novel yang fokus kepada tokoh bernama Ove. Kakek tua yang keras kepala (Ove bilang ini masalah prinsip), tempramen, pekerja keras namun tidak memiliki sikap ramah pada siapapun ingat kata Ove peraturan adalah peraturan. Novel unik karena pengambilan alurnya yang dalam satu bab melapis masa depan dan masa lalu sekaligus. Sekaligus betapa lucunya melihat seorang kakek tua yang ditinggal mati istrinya harus berulang kali kesal karena setiap percobaan bunuh dirinya gagal secara berkelanjutan. Entah karena ada tetangganya yang meminjam peralatan. Atau seorang wanita yang hamil tergesa – gesa memintanya menyetir karena suaminya gagal mencongkel jendela dari luar dan berakhir jatuh bersimbah darah. Atau seorang gay mantan murid err murid istrinya yang tidak direstui hubungan gay nya. Lucu sekali melihat betapa kakek tua itu har

Sirkuit

Image
By John Lockwood on Unsplash Karena sebuah kebenaran dan fakta berawal dari pertanyaan maka akan kuawali artikel ini dengan pertanyaan. Apakah bumi adalah manifestasi landasan pacu? Apakah bumi adalah refleksi terbaik dari running track? Dan semesta pada akhirnya berkenan menyingkap  tabirnya sedikit demi sedikit untuk  menampakkan segala akar buah kehancuran dari subjek dimana  masa tetap tidak pernah bernaung dan tak  mau tinggal diam. Dan berakhirlah manusia dengan banyak keharusan yang harus menjadi harus. Begitu banyak pula tindihan pundak. Maka ku ubah pertanyaannya apakah cukup? Katanya  manusia akan menjadi cukup saat merasa cukup. Apakah semesta akan berlaku sama? Tentu subjek selalu jadi tersangkanya.  Dalam sebuah siklus dan perputaran subjek selalu berada dalam antara. Senantiasa menyelami fase dan proses. Untuk lahir hidup dan mati. Bisakah kita sepakati kalau pertengahan adalah yang terberat? Aku anggap jawabanny

Humblebrag: Sombong yang Elok

Image
Photo by  Artem Beliaikin  on  Unsplash "Merendah untuk Meroket" istilah yang beberapa tahun belakangan sering dipakai youth buat nyindir orang yang kemuadian mereka dijuluki "humblebragger". Humblebrag sendiri aku artikan sebagai salah  satu usaha manusia buat dapet pengakuan dari orang lain dan lingkungannya namun ga ingin ketahuan siasat sombongya. Bisa juga kita maknai sebagai sesumbar yang santun. Betapa sering kalimat- kalimat sesumbar anggun ini meluncur terlebih di sosmed. Humblebrag (The art of false modesty) dilakukan dengan memberikan pernyataan yang bertentangan atau memperjelek pernyataan dengan maksud menimbulkan kesan yang sebaliknya alias promosi diri dengan memakai kalimat kalimat ketidakmampuan. Menurut Merriam Webster, Humblebragg adalah "to make a seemingly modest, self critical, or casual statement or reference that is meant to draw attention to one's admirable or impressive qualities or achievements (membuat pernyataan atau referensi y

Beranjak Lupa

Image
Beberapa menit yang lalu saya melihat salah satu postingan di salah satu akun Instagram. Tentang seorang kakek penjual onde-onde yang ingin bunuh diri karena tidak diperdulikan anaknya. Sambil menangis ia berkata akan menabrakan dirinya saja ke mobil yang melintas. Bayangkan saja betapa hancurnya perasaan si kakek ini. Dan ini bukan pertama kalinya saya menjumpai postingan berbau kemaling kundangan seperti ini. Rasanya jadi kian menakutkan saja membayangkan diri kan jadi dewasa. Beberapa pertanyaan pop up di kepala "apakah menjadi dewasa berarti kita makin lupa menjadi manusia?" "apakah usia harus menjadi sesuatu yang ditakuti yang patut diwaspadai?" dan yang terakhir yang paling menakutkan adalah " apakah aku akan jadi bagian dari mereka? apakah aku bakalan lupa bagaimana caranya menjadi manusia?". Betapa banyak aktivis yang dulunya di masa ke mahasiswaannya menggembor gemborkan anti korupsi, bantai korupsi, cincang para koruptor, malah menjadi pelaku kor

Jengahnya Harus Selalu Cari Aman

Image
By Vineeth Vinod on Unsplash Dengan triliunan manusia penghuni Bumi yang ga semuanya baik kadang bikin aku jadi ngerasa extremely sucks. Kenyataan bahwa kita ga bisa selalu ngebenerin atau ngelurusin situasi, watak dan isi kepala orang sometimes bisa bikin aku ngerasa sebegitu gobloknya karena harus bereaksi sedemikian rupa. Banyak banget kejadian yang nuntut kita buat tutup mata saat jelas jelas di depan ada hal ga bener terjadi.  Contoh simple nya some of us mungkin tau ada saudara, tetangga bahkan bapak/ ibu sendiri yang korupsi dana ataupun hak yang bukan miliknya. Tapi apa? Kita cuman diem mengamati dan berusaha ngebutain mata sendiri. Alasannya? Cari Aman. Cari damai. Biar ga dikatain anak kemaren sore yang belagu. Biar ga dikira sok alim. Biar ga dikira ga punya aturan nasehatin orang tua segala. Dan alasan alasan bodoh lainnya. Terlebih buat tipe orang seperti saya yang nit-pickky dijamin kepala kelewat sering cekot cekot sendiri. Jelas jelas di mata salah, ga masuk diakal, dan

Pesimisme Optimis

Image
By Daniele Salutari On Unsplash Segala sesuatu yang instant terlihat sangat menggiurkan. Karena kecepatannya.. Karena kepraktisannya dan mungkin juga karena usaha yang perlu dilakukan berkurang. Manusia memanglah di ciptakan seperti itu.. menghindari kesakitan, lelah, dan hal-hal berbahaya yang mana  merupakan bagian dari self defense mechanism (mekanisme pertahanan diri) jika tidak tentu manusia sudah lama telah punah. Lalu bagaimana dengan pecinta kegiatan penantang maut pemacu adrenalin? Benar.. mereka lain. Mereka hebat dalam menantang dirinya. Merekalah manusia yang berkembang tanpa henti. Mereka lah manusia pemanis hasil. Segalanya jadi lebih manis Karena efforts yang diberi. Puncak jadi manis Karena keringat Asin berkucuran di awal. Manusia ini lah pencumbu proses. Para penikmat waktu. Sayang tidak semua insan seperti itu. Aku pun termasuk di dalamnya. Meski berkenaan untuk berproses tetap saja jiwa lemah ini tremor. Seakan akan semangat dan api di jiwa adalah krupuk y

Tuhan Tak Pernah Salah Waktu

Image
Photo by MI PHAM on Unsplash Begitu banyak teriakan ketidakadilan diiringi kekesalan dalam jiwa. Entah karena kekecewaan entah karena kesombongan atau mungkin karena tidak tahu diri. Berapa banyak hal yang terjadi sesuai dengan rencana kita dan berapa yang tidak. Kelapangan dada selalu jadi syaratnya. Beberapa banyak dari kita yang menyalahkan orang lain? menyalahkan diri? bahkan menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak adil. Tuhan tidak suka liat saya senang. Tuhan katanya Maha Pendengar tapi doa saya tidak dikabul kabul kan tuh. Kalimat kalimat penyangsian muncul begitu saja bahkan beberapa dari kita berputus asa, marah dan meninggalkan agama yang dianut hingga tidak mempercayai adanya Tuhan lagi. "Kehilangan kesabaran adalah kekalahan dalam pertarungan." (Mahatma Gandhi) Some of us mungkin ngerasa paling susah paling mengenaskan paling memprihatinkan. Terlebih saat kegagalan menyapa. Kita udah usaha keras banting tulang banting otak kerja rodi tapi hasil