Yang Fana Bukan Hanya Waktu

On unsplash


Daun telah tertulis takdirnya untuk gugur dan bersimpuh dengan tanah.  Dan suara bisa menggaung dan menggema.

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Yang fana adalah waktu. Yang fana adalah waktu. “Tapi, yang fana adalah waktu buka? Tanyamu. Kita abadi” (Sapardi Djoko Damono, 1978)

Maaf aku membuat repetisi yang mungkin terkesan menjemukan. Tapi aku hanya ingin menekankan kata “Fana” dan “Waktu”. Empat puluh dua tahun lalu, dia yang fana telah menyiapkan kalimat berkabung terbaik untuk dirinya sendiri, agar pada saat 19 Juli 2020 seluruh dunia dapat menggunakannya untuk mengenang dan menghantar. Meski pada saat itu dia telah rapi terbungkus dan ditindih bumi duunia masih tunduk berkabung. Aku ingat pagi aneh itu, saat air turun deras dari celah mata. Mereka berujar mata adalah jendela hati dan saat itu guyuran air sedang keluar dari sana. Kataku persis seperti hujan di bulan juni. Tidak tahu apa mengapa dan bagaimana bisa dari celah sekecil ini air asin berebut berjatuhan. Bukankah dari awal yang di kabung sudah  bertutur “Yang fana adalah waktu”. Tapi biarlah toh tangisan seorang gadis juga fana.

Matahari dan bulan selalu melakukan tariannya dengan cermat, tangan mereka terjulur saling terikat. Bulan akan memundurkan dirinya saat matahari menyongsong dan matahari tenggelam untuk menyingsingkan bulan. Tarian menawan dengan tautan di tengahnya adalah waktu. Waktu memetik setiap rasa, membingkainya dalam sebuah kata momen dan kenangan. Bodoh untuk tidak menyadari bahwa semua hal memiliki waktunya sendiri. Bahwa derita, luka, dan kegilaan punya durasinya sendiri. Bahwa setiap umpatan, pengasihan, dan kemurkaan memiliki tempat kehadiran sendiri. Maka kehadiran kebencian pada orang yang paling di cinta bisa dibilang fase yang alamiah. Nothing is permanent, begitupun rasa pikirku. Akan ada hari dimana kita mencinta dengan sangat lalu membenci dengan teramat. Wajar jika berakhir merindu kesederhanaan yang kerap dirasa saat kanak - kanak. Karena semuanya sekarang bercampur seperti pola kaki tarian salsa. Cinta tertaut pada pertemuan maka kebencian tertuju pada perpisahan. Sebesar awal sebesar itu juga akhir dan yang teramat akan berakhir sangat.

Jadi bukankah bijak untuk tidak pernah menggunakan kata “selamanya” dan “selalu” dalam pengungkapan rasa? Katakanlah kita mencinta atau membenci . Apakah bijak untuk mengatakan aku selalu mencintaimu atau membencimu saat kefanaan adalah hukum dunia? Aku hampir tidak mempercayainya jika masih harus se naif itu. Beraninya mengatakan “selalu” saat semuanya fana.

Aku terpikat dengan kesederhanaan bait elok Pak sapardi. Kesederhanaan diksi yang dapat memikul makna dalam. Entah sejak kapan menjadi sederhana sedemikian sulitnya. Apa keinginan yang kelewat muluk - muluk adalah rintangnya atau seluruh kita memang benang kusut yang lusuh. Itulah mengapa aku menyelipkan diri dalam karya beliau. Tapi pak kurasa yang fana bukan hanya waktu. Bahwa pernyataan, rasa, dan kehadiran juga fana. Bahwa dua puluh tahun kemudian yang paling dibenci bisa menjadi yang tercinta. Bahwa yang membuat iri akan dibuat iri dikemudian hari. Bahwa derita dan luka yang hari ini mungkin dirasa tidak akan cukup untuk membunuh hukum perputaran. Karena permainan fase, waktu dan durasi ini, harapan masih layak untuk ada. 

Mungkin sebagian dari kita sedang bergelantungan di tepi besi berkarat dalam ketinggian atau sedang berada di perjalanan berulang yang menjemukan. Mungkin sebagian dari kita sedang berkelana dalam pencariannya, mungkin juga tersesat, dan sangat mungkin juga terjerat dalam perjalannannya. Ada juga kita yang tengah menggunakan salah satu tangannya untuk menahan tangan satunya menukikkan tajamnya benda ke nadi. Tak apa jika memang sedang berada dalam persimpangan itu. Tak apa karena tidak semuanya harus segera dan sekarang. Tak apa jika memang kaki tangan dan seluruh tubuhmu bergetar.

Tak apa. Tahan untuk tidak menghilangkan hari setelahnya dan meneguhkan penerimaan diri atas seluruhnya. Aku hanya ingin berujar bahwa menangis jelas bukan kejahatan dan kelemahan. Tunggu rasa itu beranjak dan jika terasa memuakkan.. sakit.. menangis mungkin jadi obat pereda radang yang baik. Tak apa yang Fana Bukan Hanya Waktu. Perasaan juga.

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Let's Talk About Love

Beranjak Lupa

Tentang Ove