Listen Before

By Camila Quinterofranco On Unsplash

Suara itu timbul tenggelam seperti alunan denting jarum jam di tengah malam. Saat separuh makhluk bumi tengah lelap suara itu melantang.
“Bagaimana jika esok adalah hari kematianmu?” katanya
Satu pertanyaan sederhana yang menimbulkan ribuan deret barisan pertanyaan menakutkan lainnya. 

Berapa banyak dari kita yang telah memilih melenggang lebih awal dari dunia meski masih diberi masa? Berapa banyak yang meminta sebaliknya? untuk tetap diijinkan menjalani satu jam dua jam hanya agar dapat mengganti sesal, mengucap maaf menyelesaikan semuanya dengan bab Epik terakhir. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa bukan hari esok yang perlu dikhawatirkan. Bahwa bukan apa yang terjadi esok yang perlu di risaukan di atas kasur. Bahwa adalah “tidak adanya hari esok” yang seharusnya menjadi inti untuk semuanya.

Pada beberapa dari banyaknya malam kerap muncul sebuah refleksi tergelap yang mungkin adalah berkat. Entah itu berasal dari takut, sesal, cemas ataupun rasa tak berdaya yang bergumul. Yang jelas seluruh bayangan itu nampak sejelas benda dalam lapang pandang. Seseorang tengah terbaring disana. Seseorang yang selalu ada dalam cermin di pagi hari. Ia terbalut kain putih yang lusuh dan dihimpit bumi dalam lubang yang dipenuhi tanah pekat. Sangat erat, entah itu pelukan atau cekikan.

Saat itu juga seruan Tuhan terakhir kali dikumandangkan, suara tangis yang sebelumnya terdengar lantang dan riuh berangsur menghilang dan terganti hening. Gelap, dingin dan sendiri tanpa daya. Ketakutan itu merayap seperti hewan dalam liang. Mereka dan aku berhianat. Mereka yang aku cintai dengan teramat dan mereka yang mencintai ku dengan sangat berhianat. Kita tidak bisa berbaring bersama dalam kubangan ini. Pada akhirnya kami harus mencintai kesendirian.

Dulu kaki itu bebas bergerak menentukan langkah kini ia terjepit tak berdaya dalam ikatan. Tangan yang dulunya perkasa berbuat sekarang terlungkup lunglai diatas dada. Mata yang dulu mampu menghasilkan aliran cucuran air pun enggan. Ia mengering. Meski seluruh sukma menangis lantang, meski tangis terhebat di seluruh alam tengah berlangsung, air itu tidak lagi keluar. Tangis itu mengisyaratkan bahwa dia bukan lagi bagian dari mereka lagi, mereka yang di cintai dan mereka yang mencintainya tidak lagi berkuasa atas apapun. Meski itu bernilai sepuluh ribu kehidupan dan makanan untuk puluhan tahun, itu tidak bernilai apapun dalam liang ini.

Seluruh kilasan yang lalu tengah diputar tanpa henti, rasanya tercekik melihatnya. Saat bayangan itu berputar dengan salah tapi tidak ada lagi waktu dan kesempatan untuk membenarkannya. Saat dimana perintah Pemilik Semesta di sambil lalukan. Saat dimana setiap masa, kesempatan, dan kepunyaan hanya mengejar kesemuan yang mengikat. Saat dimana candu yang fana diikuti dengan penuh hasrat. Bayangan itu berputar dengan salah. Malu. Melihat bagaimana bayangan itu adalah dia yang terlihat dalam cermin di setiap pagi dulu. Tanah itu kian menghimpit, dalam kegelapan mencekik dan kesunyian yang di rasa abadi.

Sebuah fakta bahwa kau berjalan dengan hanya membawa sebotol air tengah disodorkan oleh dirinya sendiri. Usaha, usia, masa yang dipunyainya berada dalam investasi salah. Hatinya teriris mendengar mereka berujar bahwa semuanya telah terlambat dan tak bisa lagi di ulang. Perandaian yang sedang ada dalam benaknya tak lagi berguna meski memenuhi semesta. Galaksi candu yang dia gandrungi pada setengah umurnya malah memperberat semuanya. Nama yang dulu diabaikan tengah berusaha di ingatnya. Nama terpenting di seluruh semesta yang di lalaikannya dalam lima kali kumandang tiap harinya, hilang tanpa jejak. Serasa akhir dalam permulaan. Meski ini adalah permulaannya, seluruhnya berakhir untuknya.
 

Comments

Popular posts from this blog

Let's Talk About Love

Beranjak Lupa

Tentang Ove