Sirkuit

By John Lockwood on Unsplash

Karena sebuah kebenaran dan fakta berawal dari pertanyaan maka akan kuawali artikel ini dengan pertanyaan.
Apakah bumi adalah manifestasi landasan pacu?
Apakah bumi adalah refleksi terbaik dari running track?
Dan semesta pada akhirnya berkenan menyingkap tabirnya sedikit demi sedikit untuk menampakkan segala akar buah kehancuran dari subjek dimana  masa tetap tidak pernah bernaung dan tak mau tinggal diam. Dan berakhirlah manusia dengan banyak keharusan yang harus menjadi harus. Begitu banyak pula tindihan pundak. Maka ku ubah pertanyaannya apakah cukup? Katanya manusia akan menjadi cukup saat merasa cukup. Apakah semesta akan berlaku sama? Tentu subjek selalu jadi tersangkanya. 

Dalam sebuah siklus dan perputaran subjek selalu berada dalam antara. Senantiasa menyelami fase dan proses. Untuk lahir hidup dan mati. Bisakah kita sepakati kalau pertengahan adalah yang terberat? Aku anggap jawabannya "ya". Dan kita manusia selalu menjadi serangkaian subjek dan objek yang bergantian. Untuk membicarakan dan dibicarakan. Untuk menghujat dan dihujat. Di posisi mana kita sekarang? Apakah ada di posisi menginvasi kehidupan orang lain atau sebaliknya sedang diinvasi? 

Pertanyaannya tentang sekolah dimana? Meneruskan di mana? Kerja di mana? Gaji berapa? Kapan nikah? Anaknya berapa? Dan all those blablabla stuff adalah bentuk nyata dari invasi society. Membuat kita ngerasa seakan - akan kita sedang berlomba antara satu sama lain di hal yang sebenarnya punya kecepatan dan ketepatan waktu masing - masing. Mempersamakan Ducati dan Honda untuk memilih siapa yang terbaik antara mereka. 

Isi semesta selalu melecuti satu sama lain agar tetap berpacu. Untuk tetap menjadi bagian dari running track. Agar sirkuit bisa menjadi sirkus. Dan beberapa orang mendapat berkah, sebuah kesadaran dini untuk menarik diri secepat mungkin dan melenggang dari arena. Mereka sadar dan tahu waktu bukan sesuatu yang tepat untuk dibandingkan. Mereka tahu jika semua hal datang dengan kecepatannya masing - masing. Dan bahwa perbedaan berlaku untuk semuanya begitupun waktu pencapaian, peraihan, dan kehilangan. 

Ada sebuah buku keren karya Haemin Sunim yang judulnya "The Things You Can See Only When You Slow Down: How To Be Calm and Mindful in a Fase-Paced World". Untuk kita yang sedang berpacu atau dipacu "take it easy for a little while" bener - bener harus diimplementasikan. Pernah tidak terpikir ternyata hanya dengan berjalan perlahan kita bisa melihat hal /benda dengan jelas? Pernah tidak merasa karena selalu berlari seorang pelari tidak sempat untuk menikmati dan menyukuri tiap langkahnya? Banyak detail sederhana yang terlewatkan dengan ketergesaan. Sama banyaknya dengan kebahagiaan sederhana tersia-sia. 

Sebuah pelarian dengan visi mengejar kebahagian malah berakhir dengan kekosongan. Sebuah penyelaman hasil penggadaian angan-angan, masa, kesenangan, hubungan dan keringat malah berakhir dengan ketidakpuasan tanpa akhir. Pada artikel sebelumnya tentang "titik henti" aku telah menanyakan sebenernya dimana si akhirnya? Dimana kita harus berhenti? Apakah dalam sirkuit kita di perkenankan untuk beristirahat. 

Dan penerimaan adalah bagian terpenting dari semua. Penerimaan ada agar luka tidak membusuk. Penerimaan dan kesadaran adalah hal yang harus di manusiawikan. Maka penting untuk tahu bahwa kuasa adalah hak Tuhan. 

Comments

  1. Musafir yang sedang berjalan tak selalu tahu dimana pertengahan dari tujuannya. Satu hal yang ia tahu selama ia masih berjalan, selama itulah ia harus mengejar bulan. Rute jalan yang ditempuh tak pernah sama seiring berputarnya jarum jam. Pernah ia mendaki terlalu tinggi, sampai takut kalau ia akan terjatuh dan terluka. Pernah ia mengarungi samudera biru yang terhampar luas tanpa rute, sampai ia takut terhantam arus dan tenggelam. Pernah ia melawan arah badai yang menghantamnya, sampai ia takut terbawa kedalamnya. Ia sadar bahwa darah, keringat, dan air matanya tak pernah berhenti menemaninya. Alasan mengapa ia masih kuat untuk tetap berjalan terus. Karena ia tahu ia tak pernah sendiri, Yang Maha Esa selalu bersamanya. Imannya bertumbuh bersamaan dengan banyaknya rute yang tertempuh. Musafir itu hanya merindukan hadiah dari Yang Maha Esa untuk setiap keyakinan, setiap kesabaran, setiap kekuatan yang telah ia hadapi di tempat yang ciptaan sang maha kuasa.

    ReplyDelete
  2. Terimakasih untuk menilik dan mengajar. Terimakasih telah berkenan mengisi semua pemikiran yang cacat dan kosong. Helaian kata yang menyematkan nama Tuhan selalu yang terbaik... terimakasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Let's Talk About Love

Beranjak Lupa

Tentang Ove