Tentang Ove

Beberapa waktu lalu saya membaca salah satu karangan Fredrik Backman. Saya  harus menyerahkan plat novel terunik di karyanya yang berjudul “A Man Called Ove”. Sebuah novel yang fokus kepada tokoh bernama Ove. Kakek tua yang keras kepala (Ove bilang ini masalah prinsip), tempramen, pekerja keras namun tidak memiliki sikap ramah pada siapapun ingat kata Ove peraturan adalah peraturan. Novel unik karena pengambilan alurnya yang dalam satu bab melapis masa depan dan masa lalu sekaligus. Sekaligus betapa lucunya melihat seorang kakek tua yang ditinggal mati istrinya harus berulang kali kesal karena setiap percobaan bunuh dirinya gagal secara berkelanjutan. Entah karena ada tetangganya yang meminjam peralatan. Atau seorang wanita yang hamil tergesa – gesa memintanya menyetir karena suaminya gagal mencongkel jendela dari luar dan berakhir jatuh bersimbah darah. Atau seorang gay mantan murid err murid istrinya yang tidak direstui hubungan gay nya. Lucu sekali melihat betapa kakek tua itu harus beribu kali mengumpat.

Satu hal yang membuat saya mengakui bahwa novel ini unik. Yakni betapa sederhananya penyajian kesedihan di dalamnya tapi membuat saya harus tersengol – sengol menahan dan menarik napas berkali – kali saat harus menutup covernya. Tidak seperti tereliye yang selalu dikuasai keajaiban untuk membuat novel apapun mengandung bawang. Tapi Fredrik Backman punya cara yang sederhana untuk membuat pembaca sesak napas. Karakter ekstrim dari pasangan Ove dan Sonja mungkin pusat semua ini. Saya selalu merasa bahwa dalam suatu apapun selalu ada bagian menonjol di dalamnya. Dalam sebuah lagu misalnya. Beberapa dari mereka menarik dari melodi nya dari ritmenya. Beberapa menjadi luar biasa karena lirik nya. Beberapa dari mereka indah karena gesekan pita suara penyanyinya dan beberapa indah karena harmonisasinya. Begitupun dalam sebuah buku.

Butuh waktu lama bagi saya untuk akhirnya benar – benar memahami hati seorang Ove. Dalam 2 bab pertama hati saya terus mengumpat. Tidak ada kesan baik dari Ove dalam suara benak saya. Tapi mengapa saya tidak berhenti membacanya? Entahlah. Mungkin karena memang manusia lebih tertarik  untuk mengulik hal yang di bencinya seperti stalker ig mantan misal atau pacar baru mantan hehehe.. Beberapa kutipan Ove masih terngiang di telinga saya.

“Aku hanya berpikir aku akan punya lebih banyak waktu, entah bagaimana, untuk melakukan . . .  segalanya.”

Ove bukanlah seorang berandalan ataupun pemberang yang suka membuang masa dengan hal sia – sia. Bahkan menurut saya ia cukup jauh lebih produktif daripada orang seusianya. Ia juga bukan orang yang melewatkan kesempatan atau hal – hal bodoh lainnya. Dan mengapa ia masih penuh sesal saat membungkuk di makam istrinya. Ia  tidak melakukan apapun seperti menyelingkuhinya misal tidak. Dan saat itu ia memandang lekat nisan istrinya “Sonja”.

Pada akhirnya saya berpikir, orang yang telah memanfaatkan waktu dengan baik masih merasa sesedih dan semenyesal itu. Dan bagaimanakah saya kelak di hari tua. Apakah aku akan membungkuk di depan nisan ayah, ibu atau suamiku membungkuk menyesali fakta bahwa semua yang telah dilakukan tidak cukup. Sebernarnya bagaimana definisi orang akan “segalanya”... dari sudut pandangku Ove telah melakukan segalanya untuk dan dengan Sonja. Apa yang kurang pikirku. Saat itu aku sadar bahwa aku tidak cukup memahaminya. Iya benar memahami Ove. Padahal saat saya membaca novel semua tokoh di dalamnya adalah nyata. Saya tidak pernah merasa mereka adalah nama fiksi yang dipilih dengan hati hati untuk memikat hati pembaca. Mereka hidup. Mereka nyata. Itulah ideologi gilaku.

Menurutnya dia adalah lelaki sederhana. Lelaki hitam putih katanya. Tapi bagiku hitam dan putih adalah warna paling kompleks. Entah mengapa aku selalu menancapkan pandangan jika hitam dan putih adalah warna kelabu. Warna yang akan ku pakai dalam status whatsapp saat merasa sedih. Semua orang bebas memaknai apapun. Bebas untuk memiliki pengertian untuk segalanya. Dan bebas untuk membangun persepsi dan penerimaan dirinya sendiri. Tapi entahlah, terkadang saya melihat orang kehilangan kendali atas kebebasan itu. Menjebol batas dan merasa berhak. Seperti yang ku lakukan saat membaca buku ini, saya merasa berhak untuk merefleksikan Ove dalam pandangan yang kusukai dan melupakan bagian terpenting yaitu bayangan menjadi tokoh itu.

Bagi beberapa orang, membaca novel adalah kegiatan yang kurang berguna dan menghabiskan waktu. Bagiku tidak tentu. Karena saat kita membuka lembar pertama dan membaca huruf kapital pertama saat itu juga kita belajar memahami. Betapa beruntungnya orang yang mendapat makna dan pelajaran tanpa harus merasakan lubang, kesusahan, dan penyesalan atas tindakan yang lalu menghadirkan sebuah makna dan pelajaran. Dari satu tokoh saja kita belajar, saat itu juga kita mengambil pelajaran, dan saat itu juga kita beruntung karena mendapat emas tanpa keringat penggalian. Seorang lelaki pernah berkata “I tu seneng dapet pelajaran dari kehidupan orang lain, jadi I gausah susah susah ngalamin yang dia rasain tapi dapet pelajaran hidupnya”. Bagi saya begitulah essensi novel bagi saya.

Tulis Fredrik Backman dalam bukunya
"kematian adalah sesuatu yang ganjil. Orang menjalani seluruh hidup mereka seakan kematian itu tidak ada, tapi kematian sering kali menjadi salah satu motivasi terbesar untuk hidup. Pada akhirnya, sebagian dari kita menjadi begitu menyadari kematian sehingga menjalani hidup dengan lebih keras, lebih tegar, dan dengan lebih banyak kemarahan. Sebagian lagi memerlukan kehadiran kematian secara terus menerus untuk menyadari antitesisnya. Sisanya menjadi begitu terobsesi dengan kematian sehingga mereka memasuki ruang tunggu, lama sebelum kematian itu mengumumkan kedatangannya." 

"Kita merasa gentar pada kematian, tapi sebgaian besar dari kita merasa paling takut jika kematian itu membawa pergi orang lain. sebab yang menjadi ketakutan terbesar adalah jika kematian itu melewatkan kita. dan meninggalkan kita disana sendirian" Dan itulah yang terjadi pada Ove. Kakek tua yang percobaan bunuh dirinya gagal secara ajaib berulang kali. Pria yang selalu memaki orang yang tidak patuh pada peraturan. Pria yang mengeluh bahwa jalanan menjadi tempat orang gila. Namun pada akhirnya pemakaman pria yang dikata pemberang itu malah dihadiri lebih dari tiga ratus orang. Istrinya Sonja mempercayai bahwa semua jalan yang di tempuh dalam hidup, dengan satu atau lain cara, akan menuntun pada apa yang telah ditakdirkan untukmu. Ternyata takdir itu bukan mati di dalam garasi yang penuh karbon monoksida knalpot mobil Saab, bukan pada tali yang bahkan tak kuat menanggung beban tubuh pria tua, bukan juga pada moncong senapan mertua bukan, rupanya Ove mendapat tidur yang damai untuk selamanya. 

Comments

Popular posts from this blog

Let's Talk About Love

Beranjak Lupa