Sirkuit
Karena sebuah kebenaran dan fakta berawal dari pertanyaan maka akan kuawali
artikel ini dengan pertanyaan.
Apakah bumi adalah manifestasi landasan pacu?
Apakah bumi adalah refleksi terbaik dari running track?
Dan semesta pada akhirnya berkenan menyingkap tabirnya sedikit demi sedikit untuk menampakkan segala akar buah kehancuran dari subjek dimana masa tetap tidak pernah bernaung dan tak mau tinggal
diam. Dan berakhirlah manusia dengan banyak keharusan yang harus menjadi
harus. Begitu banyak pula tindihan pundak. Maka ku ubah pertanyaannya apakah
cukup? Katanya manusia akan menjadi cukup saat merasa cukup. Apakah semesta akan
berlaku sama? Tentu subjek selalu jadi tersangkanya.
Dalam sebuah siklus dan perputaran subjek selalu berada dalam antara.
Senantiasa menyelami fase dan proses. Untuk lahir hidup dan mati. Bisakah
kita sepakati kalau pertengahan adalah yang terberat? Aku anggap jawabannya
"ya". Dan kita manusia selalu menjadi serangkaian subjek dan objek yang
bergantian. Untuk membicarakan dan dibicarakan. Untuk menghujat dan dihujat.
Di posisi mana kita sekarang? Apakah ada di posisi menginvasi kehidupan
orang lain atau sebaliknya sedang diinvasi?
Pertanyaannya tentang sekolah dimana? Meneruskan di mana? Kerja di mana?
Gaji berapa? Kapan nikah? Anaknya berapa? Dan all those blablabla stuff
adalah bentuk nyata dari invasi society. Membuat kita ngerasa seakan - akan
kita sedang berlomba antara satu sama lain di hal yang sebenarnya punya
kecepatan dan ketepatan waktu masing - masing. Mempersamakan Ducati dan Honda untuk memilih siapa yang terbaik antara mereka.
Isi semesta selalu melecuti satu sama lain agar tetap berpacu. Untuk tetap
menjadi bagian dari running track. Agar sirkuit bisa menjadi sirkus. Dan beberapa orang mendapat berkah, sebuah kesadaran dini untuk menarik diri secepat
mungkin dan melenggang dari arena. Mereka sadar dan tahu waktu bukan sesuatu
yang tepat untuk dibandingkan. Mereka tahu jika semua hal datang dengan
kecepatannya masing - masing. Dan bahwa perbedaan berlaku untuk semuanya
begitupun waktu pencapaian, peraihan, dan kehilangan.
Ada sebuah buku keren karya Haemin Sunim yang judulnya "The Things You Can
See Only When You Slow Down: How To Be Calm and Mindful in a Fase-Paced
World". Untuk kita yang sedang berpacu atau dipacu "take it easy for a
little while" bener - bener harus diimplementasikan. Pernah tidak terpikir
ternyata hanya dengan berjalan perlahan kita bisa melihat hal /benda dengan
jelas? Pernah tidak merasa karena selalu berlari seorang pelari tidak sempat
untuk menikmati dan menyukuri tiap langkahnya? Banyak detail sederhana yang
terlewatkan dengan ketergesaan. Sama banyaknya dengan kebahagiaan sederhana
tersia-sia.
Sebuah pelarian dengan visi mengejar kebahagian malah berakhir dengan
kekosongan. Sebuah penyelaman hasil penggadaian angan-angan, masa,
kesenangan, hubungan dan keringat malah berakhir dengan ketidakpuasan tanpa
akhir. Pada artikel sebelumnya tentang "titik henti" aku telah menanyakan
sebenernya dimana si akhirnya? Dimana kita harus berhenti? Apakah dalam
sirkuit kita di perkenankan untuk beristirahat.
Dan penerimaan adalah bagian terpenting dari semua. Penerimaan ada agar
luka tidak membusuk. Penerimaan dan kesadaran adalah hal yang harus di manusiawikan.
Maka penting untuk tahu bahwa kuasa adalah hak Tuhan.
Musafir yang sedang berjalan tak selalu tahu dimana pertengahan dari tujuannya. Satu hal yang ia tahu selama ia masih berjalan, selama itulah ia harus mengejar bulan. Rute jalan yang ditempuh tak pernah sama seiring berputarnya jarum jam. Pernah ia mendaki terlalu tinggi, sampai takut kalau ia akan terjatuh dan terluka. Pernah ia mengarungi samudera biru yang terhampar luas tanpa rute, sampai ia takut terhantam arus dan tenggelam. Pernah ia melawan arah badai yang menghantamnya, sampai ia takut terbawa kedalamnya. Ia sadar bahwa darah, keringat, dan air matanya tak pernah berhenti menemaninya. Alasan mengapa ia masih kuat untuk tetap berjalan terus. Karena ia tahu ia tak pernah sendiri, Yang Maha Esa selalu bersamanya. Imannya bertumbuh bersamaan dengan banyaknya rute yang tertempuh. Musafir itu hanya merindukan hadiah dari Yang Maha Esa untuk setiap keyakinan, setiap kesabaran, setiap kekuatan yang telah ia hadapi di tempat yang ciptaan sang maha kuasa.
ReplyDeleteTerimakasih untuk menilik dan mengajar. Terimakasih telah berkenan mengisi semua pemikiran yang cacat dan kosong. Helaian kata yang menyematkan nama Tuhan selalu yang terbaik... terimakasih
ReplyDelete