Beranjak Lupa

Beberapa menit yang lalu saya melihat salah satu postingan di salah satu akun Instagram. Tentang seorang kakek penjual onde-onde yang ingin bunuh diri karena tidak diperdulikan anaknya. Sambil menangis ia berkata akan menabrakan dirinya saja ke mobil yang melintas. Bayangkan saja betapa hancurnya perasaan si kakek ini. Dan ini bukan pertama kalinya saya menjumpai postingan berbau kemaling kundangan seperti ini. Rasanya jadi kian menakutkan saja membayangkan diri kan jadi dewasa. Beberapa pertanyaan pop up di kepala "apakah menjadi dewasa berarti kita makin lupa menjadi manusia?" "apakah usia harus menjadi sesuatu yang ditakuti yang patut diwaspadai?" dan yang terakhir yang paling menakutkan adalah " apakah aku akan jadi bagian dari mereka? apakah aku bakalan lupa bagaimana caranya menjadi manusia?". Betapa banyak aktivis yang dulunya di masa ke mahasiswaannya menggembor gemborkan anti korupsi, bantai korupsi, cincang para koruptor, malah menjadi pelaku koruptor saat duduk di kursi rakyat. Dengan bertambahnya angka (usia, pendapatan, jumlah anak, jumlah hal yang ingin dibeli, dll) makin bertambah pula kelupaan akan slogan yang dulu diteriakan. 

Sering aku dengar anak berteriak "kenapa aku dilahirkan, kalau akhirnya begini.. begini.. dan begini?" atau "aku ga pernah minta dilahirkan" sambil melotot dan penuh amarah pada ibu/ayah yang telah mengecewakannya. Baginya ia telah disusahkan kedua orang tuanya. Ia dirugikan karena orang tuanya telah gagal menjadi orang tua baginya. Bisa karena orang tuanya bercerai. Bisa karena orangtua yang sibuk kerja hingga kurang ada waktu untuk anak anaknya. Bisa juga karena orang tua yang belum bisa memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun pernahkan kita sadari wahai anak calon orang tua, bukankah orang tua kita bisa berbalik mengatakan "kalau aku tahu aku akan punya anak seperti kamu aku bakal memilih tidak melahirkan kamu nak" bagaimana kalau begitu? tapi belum ada kan orang tua yang bilang seperti itu?(setahu ku). Secacat apapun, se ga bisa apapun anaknya, se bodoh apapun, se nakal apapun orang tua tetep yang ngasi kita makan ngasi kita penghidupan dan kehidupan dengan ngorbanin waktu tenaga dan seluruh hidupnya. Dalam beberapa kasus memang ada orang tua sinting yang tega ngebunuh anaknya, yang juga dengan menjijikannya memperkosa anaknya sendiri, yang rela ngejual anaknya sendiri mari kita anggap itu pengecualian di article ini. (saya bahas ortu yang normal aja yang ga keplek)

Selain tuntutan tuntutan yang selalu kita bebankan pada orang tua seperti "kurang waktu untuk keluarga", "kurang kasih sayang", "kurang uang", "lauk itu itu saja" Pernahkah sekali aja kita tanya ke diri sendiri emangnya kalau kita jadi orang tua kita bisa lebih baik dari mereka? pernah ga barang sekali saja kita ngebayangin kalo kita di posisi mereka dengan segala problematika terus masi harus bergelut dengan tuntutan tuntutan kita. Saya rasa orang tua itu selalu memenuhi kebutuhan mulai dari yang paling urgent, yang dasar.
https://brandadventureindonesia.com/pengertian-karyawan-adalah-salah-satu-tahap-dalam-branding-hierarki-kebutuhan-maslow/
Orang tua normally bakal cari uang dulu kerja buat menuhin kebutuhan fisiologis(makan, minum, eleminasi) baru kebutuhan keamanan (rumah yang aman nyaman, lingkungan yang aman nyaman), selanjutnya kebutuhan cinta dan kasih sayang. Beberapa dari kita mungkin menuntut ortu kurang kasih sayang lah, kurang perhatian lah, kurang waktu lah padahal ortu berusaha buat nyukupin kebutuhan yang paling dasar makan minum. Maka wajar jika belum bisa ngasi kebutuhan ketiga cinta dan kasih. Dengan segala macam tuntutan pekerjaan ortu harus tetap ini itu ke anak padahal dia juga manusia bisa salah bisa luput maka bisa tidak kita jadi lebih manusiawi lebih pengertian ke ortu.

Di usia emas nya mereka(orang tua) banting tulang untuk anak anaknya. Hingga uban dan keriput menghampiri. menyayangi, mengasihi, memenuhi segala keinginan anaknya tanpa tahu di usia senja kelak ia akan dibuang. Di terlantarkan buah hatinya. Diabaikan darah dagingnya. Di lupakan seakan akan tidak pernah ada jasa apapun. Apakah orang tua mempertaruhkan nyawa hanya agar kelak dicampakkan? Jika sudah begitu, mungkin kakek diatas ingin sekali memutar waktunya. Mungkin ia lebih memilih untuk tidak punya anak yang kelak akan menelantarkannya. Tak apa bekerja walau di usia senja seperti yang dilakoninya sekarang yang penting tidak ada luka dan sakit dari dicampakkan darah dagingnya.Bukan begitu?

Belum lagi anak yang mempekerjakan orang tuanya yang telah senja, yang sakit sakitan. ia menyuruh, bahkan menghantar orang tuanya mengesot di trotoar di emper untuk membuka tangan dan mengemis. Sedang sang anak yang masih gagah dan sehat menunggui pundi pundi rupiah yang di hasilkannya. Nemen eram nek ga waras e. Dimana hatinya? Dimana juga otaknya? dan semenjak kapan kehilangan keduanya (hati&otak)? apakah menjadi dewasa berarti kita akan jadi makin lupa caranya jadi manusia? 

Bukankah dulu saat kita kecil kita ringan sekali memberi ke pada yang lain? bukankah dulu kita dengan mudah mengucap kasih dan sayang pada bapak ibu? bukankah dulu kita pernah berjanji jadi pilot untuk mengajak orang tua naik pesawat, menjadi dokter untuk bisa mengobati mereka jika sakit, menjadi koki agar orang tuanya bisa makan enak? lantas kemana perginya itu semua? semakin dewasa semakin jauh hilang dan musnah adanya. Jika kita hanya dewasa untuk menyakiti orang tua kenapa kita tidak mati diusia muda saja.

Sepertinya kita harus memanjatkan doa di setiap tiupan lilin di hari ulang tahun, agar usia hadir tidak dengan membawa hadiah berupa "lupa menjadi menusia".

Comments

Popular posts from this blog

Let's Talk About Love

Tentang Ove