Can I be happy?

By Anthony Tran on Unsplash

"Happiness" tidak Ada seorangpun yang tidak ingin bahagia tentunya. it's like the core of the core of the core dari semua Kita lakukan. Kita rela siang malam Mata melek berjam jam.. banting otak banting otot for sake of happiness. But pertanyaanya.. what if bahkan setelah Kita sejauh ini selama itu survive struggle strive "happiness" bukannya nongol malah semakin ngilang? Kala berusia 5 tahun kerap sekali kuamati senyum dan tawa semua orang mulai dari orang yang ku kenal, yang ku sayangi hingga strangers random guy. Di usia 5 tahun ku Kira semua senyuman dan tawa adalah kebahagiaan.


Tidak lagi sekarang. Ternyata kalian bisa tersenyum saat iri. Kalian bisa juga tersenyum saat hancur. Ternyata senyum hanyalah guratan tarikan saraf untuk lebih banyak Lagi topeng dan kepalsuan. Rasanya rindu sekali pada saat saat dimana hidup terasa ringan bak kapas. Gelak disana sini. Ketulusan hati terefleksikan di Mata. Bukan seperti sekarang ini. Mata tidak Lagi menjadi cermin. Bak tertutup lumpur. Cermin sudah kehilangan bayangannya.


Layaknya temanku yang membenci ulang tahun kini Aku pun rasanya sama. Angka angka itu hadir beriringan dengan "misery" dan "berton ton tuntutan". Aku harus membenarkan kebodohan Kita yang telah bersedia menanggung beban dan tanggung jawab seluar biasa ini. Harus menjadi Kaka yang baik. Harus menjadi anak yang baik. Harus menjadi ibu yang baik Ayah yang baik. Harus menjadi warga negara yang baik. Harus menjadi manusia yang baik ke manusia lainnya. Harus baik ke hewan tumbuhan lingkungan. Harus ikhlas harus Sabar harus legawa. Hebat sekali manusia. 



"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh," (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 72)

Tapi begitulah kita manusia dengan sejuta ambisi. Sampailah Kita di titik dimana lelah bertengger dengan  agungnya dipuncak. Lelah akan sederet tumpukan masalah. Lelah dengan harus terus menerus dan selalu melakukan segala hal semaksimal mungkin se flawless mungkin. Dan terkadang kebosanan juga mampir menyapa sesekali atau Kita sebut kemuakan? Bosan untuk selalu kalah. Muak menjadi dungu. Jengah melakukan kesalahan yang sama tanpa bisa punya kendali atas itu. Bosan jadi orang yang harus selalu bertanggung jawab. 

Rasanya tidur tidak lagi menjadi penghilang letih. Tetap saja. Pagi Hari terasa sore hari. Malam terlalu terik untuk sekedar memejamkan mata terlalu liar. Siang bagai kereta express hanya mampir. Kadang rasanya 24 jam memang tidak cukup. Harus ini harus itu. Perbaiki ini perbaiki itu. Membuat ini membuat itu. Hingga tanpa sadar telah 8.760 jam dan umur baru harus menyapa.


Ingin rasanya kupancung saja diriku yang Sering menghilangkan waktu dengan ketololan sementara kelak bersiaplah kau akan jadi yang bertanggung jawab atas itu. Tapi tetap saja memang selelah itu. Lelah untuk bangkit. Lelah untuk mencari alasan untuk tetap disini. Untuk mencari alasan why am I matter. Lelah untuk selalu be positive and spread love and kindness. Lelah untuk memperbaharui semangat. Bukankah charger juga bisa rusak? Saat dipakai terus menerus.. lantas bagaimana jika charger diri rusak? Usai kah? 

Aku sungguh beruntung dapat mengingat sejelas itu Masa kecilku Aku mengingat dengan jelas bagaimana lebar nya senyum dan tawa. Bagaimana ringan nya pundak ini. I'm so grateful.. I was blessed. 
6.3072.000 detik lagi kepala dua disematkan padaku 
Masih pertanyaan yang sama 
What will I be?  How will I become? 

Comments

Popular posts from this blog

Let's Talk About Love

Beranjak Lupa

Tentang Ove